Kamis, 11 November 2010

workshop: makalah keperawatan

workshop: makalah keperawatan: "RESUME ARTIKULASI MODE PENGELOLAAN KEKUASAAN SERTA RELEVANSINYA DENGAN KEPERAWATAN 1.1 Artikulasi Mode Pengelolaan Kekuasaan Kekuasaan sep..."

Rabu, 10 November 2010

makalah keperawatan

RESUME
ARTIKULASI MODE PENGELOLAAN KEKUASAAN SERTA RELEVANSINYA DENGAN KEPERAWATAN


1.1 Artikulasi Mode Pengelolaan Kekuasaan
Kekuasaan seperti halnya budaya yang didalamnya terdapat dominasi dan otoritas, yang terkelola secara terfragmentasi, terekspansi, dan terekontruksi dalam berbagai bentuk sejalan dengan perkembangan dan perspektif aktor maupun sejarah masyarakat.
Masyarakat biasanya terbagi menjadi dua lapisan, elite dan rakyat biasa. Masing-masing memiliki perspektif, perkembangan, dan sejarah tersendiri. Dengan demikian mereka juga memiliki konstruk yang berbeda satu sama lain dalam memahami kekuasaan. Jika di Indonesia masyarakat jawa memiliki peran yang panjang dalam politik negeri ini, di lain pihak islam yang dipeluk mayoritas warga negeri ini . Berikut kita telusuri bagaimana mereka mengkonstruk kekuasaan
1. Konstruks Elite tentang kekuasaan
Pada negara yang tingkat kecerdasan atau literasi, kekayaan rata-rata dan industrialisasi maupun urbanisasinya tinggi seperti di dunia Angolo Saxon dan Eropa pengelolaan kekuasaan cenderung dilakukan dengan menempuh model pluralisme, dimana kekuasaan berada di tangan elite yang di peroleh bukan melalui jalan kekerasan melainkan melalui upaya yang ditempuh secara demokratis. Lipset meyakini bahwa industrialisasi, urbanisasi, kekayaan dan pendidikan yang tinggi adalah untuk menghindari cara-cara kekerasan dan menegakkan kekuasaan.
Namun ketika keempat prasyarat tidak seluruhnya dapat terpenuhi seperti yang terjadi di negara Mesir, Suriah, Yordania dan Iran dimana kekuasaan tidak ditentukan atas dasar pemilihan melainkan melalui proses mobilisasi simbol dan ideologi-ideologi ekstrim yang melatarbelakangi perjuangan dengan kekerasan (Lerner dalam penelitian).
Prasyarat demokrasi seperti hasil temuan Lipset maupun Lerner tersebut mengundang kritik, antara lain tak terbukti. Namun sejumlah negara ternyata berhasil membangun kekuasaan atas dasar demokrasi meski tidak memiliki empat prasyarat tersebut seperti India dan Filipina.
Menurut Guillermo O’donnell dalam mempertahankan kekuasaan , cenderung memilih jalan birokratik otoritarian, dimana kekuasaan ditangan rezim yang tidak memberi peluang partisipasi. Bisa ditemukan pada negara yang tengah menghadapi proses industrialisasi dan pembangunan ekonomi. Dimana kekuatan politik yang relatif mandiri tidak membuka peluang partisipasi saat berhadapan dengan para elite pendukung maupun masyarakat sipil. Sehingga masyarakat yang mengontrol kekuasaan tidak memberi peluang untuk partisipasi, negara tumbuh menjadi kekuatan raksasa terpadu, dinamis, menyebar, represif, birokratis, dan tekhnokratis guna menjaga akselerasi industrialisasi tidak terganggu. Namun birokratik otoritarian mempunyai kelemahan yaitu:
a. ini menghasilkan elite tertutup, memonopoli kekuasaan dan menolak campur tangan dari luar kelompok elite.
b. Seringkali mengidap syndroma kekuasaan yang akut, terobsesi untuk memperkuat dominasi elite terhadap kelompok-kelompok populer, dikarenakan elite memiliki kekhawatiran akan keaktifan politik massa dan karena itu mereka selalu berusaha membungkam dan melemahkannya.
Praktik dominasi elite (Max Weber), dalam kerangka dominasi elite praktik mempunyai dua langkah
a. Dominasi
Kekuasaan dalam praktik dominasi di munculkan ketika seorang atau sekelompok elite memaksa kelompok lain(massa) melalui penggunaan secara lansung ancaman dan kekuatan atau kekerasan (violence). Dominasi ini terjadi bila penguasa memaksa kehendaknya pada pihak lain dengan memberikan pandangan bahwa memang benar tindakannya.
b. Kekuasaan berdasarkan hak untuk memerintah yang didasarkan atas kepercayaan atau legitimasi rakyat.
Dominasi terlegitimasi sebagai suatu yang normal, hubungan kekuasaan yang dapat diterima oleh masyarakat adalah pola otoritas formal, yang dalam hal ini penguasa melihat dirinya sebagai yang memiliki hak untuk memerintah dan subyek dari perintahnya melihatnya sebagai kewajiban untuk mematuhi. Jadi menurut max weber kekuasaan yang diterima adalah kekuasaan yang memiliki kewenangan dari masyarakat atau disebut otoritas.
Jika dihubungakan dengan rasionalitas Max Weber membedakan otoritas menjadi :
a. Otoritas traditional
Otoritas ini didasari oleh kepercayaan yag mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka. Dalam hal ini di bagi menjadi tiga yaitu:
1. Otoritas gerontokrasi
Yaitu masyarakat yang dipimpin oleh orang tua
2. Otoritas patriarkalisme
Adalah pengawasan dalam tangan satuan kekerabatan yang dipegang oleh seorang individu tertentu dengan otoritas warisan
3. Otoritas patrimonial
Yaitu otoritas yang memiliki administrasi dengan terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengan pemimpinnya
b. Otoritas karismatik
Didasarkan atas mutu luar biasa dan adiduniawi dari pemimpin sebagai pribadi.
c. Otoritas legal rasional
Didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal.
Bila mengikuti pemikiran elitis, biasanya selalu merasionalisasikan aturannya, baik untuk dirinya sendiri maupun ketika mengola massa dalam kondisi tertentu. Mereka menggunakan Political Formulae atau pembenaran mode atau penjustifikasian diri. Dalam hal ini pembenaran diri tidak lebih dari sebuah topeng kekuasaan yang dibuat dengan maksud untuk mendapatkan justifikasi atau legitimasi rakyat.
Pemekaran birokrasi dan organisasi merupakan proses rasionalisasi, sosialisasi dan menjadikan sebagai suatu keyakinan pada masyarakat yang dipengaruhi. Dalam praktik seringkali rasional untuk elite tapi tidak untuk masyarakat. Pada saat itulah rasionalisasi birokrasi itu menjelma menjadi sangkar besi “iron cage” (Max Weber).
Para pemikir teori kritis dari sekolah frankfut seperti Jurgen Habermas menilai rasionalitas yang dicita-citakan manusia tidak membawa kebahagiaan dan otonomi. Rasionalisasi tindakan yang menekan kepada pencarian instrumen (zwecrationalitat) yang mengacu pada pencapaian tujuan setinggi-tingginya dan tidak mengindahkan rasionalitas nilai (wetrationalitat), berkembang menjadi “totalitas historis” atau sebuah “bentuk kehidupan” (lebensform) yang memenjarakan masyarakat. Dengan berselubung rasionalitas, kekuasaan politik pada hakikatnya menindas masyarakat itu sendiri.
Dalam pengertian normatif, Habermas sependapat dengan Person maupun Arendt yang menyatakan bahwa penguasa diberi hak oleh publik menjalankan kekuasaan bahkan dominasi baik melalui kekerasan (violence/coercion) maupun legitimasi. Namun definisi semacam ini hanya berlaku pada ranah normatif, dan tidak bisa digunakan ketika menghadapi keserakahan kekuasaan yang dilakukan individu atau kelompok dalam sebuah organisasi.
Antonio Gramsci seorang aktivis komunis italia pencetus aliran sekolah Frankfut periode kedua tertarik bagaimana kekuasaan di kelola di negara modern. Ia melihat modernisasi negerinya menimbulkan ketimpangan antara mereka yang memiliki sumber produksi yang mengontrol kekuasaan dan tidak memiliki sumber produksi yang terpinggir dari kekuasaan. Dalam hal ini ia tidak melihat dari perspektif elite saja melainkan masyarakat miskin yang terpinggirkan. Ia menyaksikan bagian terbesar masyarakat menyerahkan loyalitasnya kepada negara meskipun dalam menhadapi situasi yang kritis, dimana semestinya masyarakat kehilangan kepercayaan dan kemudian melakukan perlawanan terhadap negara melalui revolusi, coup d’etat atau pemilihan. Namun ternyata hal itu tidak dilakukan, hal ini terjadi karena penguasa sebenarnya tidak punya pilihan lain selain menggunakan instrumen kekerasan. Elite pemegang kekuasaan telah membungkus kekerasan dengan memanipulasi sentimen masyarakat dengan memberikan justifikasi politik melalui penggunaan ideologi tertentu. Masyarakat kemudian tidak lebih dari gambaran massa yang terhegemoni, tak terorganisir, dan tidak menyadari kejahatan yang telah melanda dirinya.
Gramsci menjelaskan perbedaan antara “rule”(dominio) dan hegemony
a. Rule (dominio) adalah kekuasaan politik yang terekspresikan melalui cara-cara koersi. Penguasa memobilisasikan alat-alat kekerasan untuk menundukkan massa
b. Hegemony merupakan kekuasaan yang diekspresikan melalui jalinan politik, sosial, dan budaya dengan cara persuasif (membujuk) dan mekanisme konsesus (semu)
Dalam pandangan Gramsci, negara sering tampil dengan wajah ganda, antara dominio atas dasar kekerasan dan direzione atau otoritas yang diperoleh dari legitimasi. Kata kunci dari analisis Gramsci adalah hegemony, yakni kontrol negara terhadap kehidupan intelektual masyarakat sepenuhnya ditempuh melalui makanisme kultural, sehingga memungkinkan negara mampu membangun kekuasaan dengan otoritas bukan dominio.
Hegemony dengan demikian melahirkan formasi sosial yang asimetrik yang mengakibatkan timbulnya dominasi dan arogansi elite yang membuatnya semakin jauh dari kehidupan masyarakat, bahkan mereka memandang rendah, mengejek mereka yang miskin dan mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk menhadapi elite politik yang tak mempunyai rasa kemanusiaan hanya ada dua opsi
a. Menyerah kepada nasib dan kemudian menjadi manusia yang pasif dan dungu
b. Melawan untuk keluar dari chaos sehingga menjadi subjek dari pemerdekaan dirinya.
Perlawanan tidak dilakukan dengan memilih cara kekerasan melainkan juga memilih memakai jalur budaya yaitu yang disebut Countre Hegemony.
Perlu ditegaskan disini bahwa sering kali dijumpai perilaku elite politik dalam mengelola kekuasaan tidak berkolerasi dengan pembentukan kebaikan bersama, pengelolah justru menampakkan upaya mendominasi masyarakat dengan cara-cara yang kompleks. Mereka tidak hanya menggunakan cara traditional atau legal tapi juga menggunakan pengaruh charisma, disamping itu juga menggunakan kekerasan dan justifikasi ideologis. Mereka mencari kekuasaan melalui legitimasi maupun manipulasi elite atas opini publik. Mencoba mengeksploitasi produk legal rasional dalam bentuk perundang-undangan maupun kebijakan politik, garis keturunan, dan juga kharisma melalui berbagai simbol termasuk didalam simbol-simbol keagamaan.
1.2 Konstruks Jawa Tentang kekuasaan
Masyarakat Jawa adalah komunitas etnis yang memiliki sejarah panjang dalam sistem kekuasaan di Indonesia. Dominasi etnis jawa terlihat dari berbagai segi, dilihat dari jumlah penduduk etnis jawa mencapai 47 %. Selain BJ Habinie, Soesilo Bambang Yudoyono dan budiono berasal dari etnis jawa. Mereka berperilaku seperti orang Jawa bahkan lebih jawa dari jawa. Karena dominasi etnis Jawa dalam politik itulah maka studi kekuasaan di Indonesia tidak bisa lepas dari perilaku mereka. Bagaimana masyarakat jawa mengkonstruks kekuasaan bagaimana pula komunitas ini menarik hubunganya dengan moral dan agama? Pertanyaan ini relevan untuk diajukan, sebab seperti di kemukakan dimuka bahwa komunitas jawa merupakan sumber rekrutment utama dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Dalam kosmologi Jawa, tidak ada perbedaan tajam antara dunia ini dan dunia transendental, maka tidak terdapat pegangan diluar dunia yang dapat digunakan untuk mengukur tindakan-tindakan manusia. Tuhan adalah imanen. Keputusan penguasa tidak berkadar etika tetap dan inheren, keputusan-keputusan itu dinilai berdasarkan tingkat sampai dimana, dalam situasi atau masa yang mana saja, keputusan itu meningkatkan atau merongrong pemusatan kekuasaan.
Bandingkan dengan konstruks komunitas Muslim, terutama reformis. Bagi mereka, manusia tidak lebih dari ciptaan Tuhan. Kekuasaan terletak ditangan Tuhan bukan dunia, melainkan dari atas dan lebih dulu adanya daripada dunia. Maka dari itu hukum islam mempunyai nilai transenden dan tetap digunakan sebagai dasar untuk menilai setiap hukum politik yang diciptakan oleh manusia. Hukum ini tidak mempunyai status inheren, dengan demikian, etika dan kekuasaan duniawi dipisahkan secara radikal.
Pandangan orang Jawa kekuasaan dan status berhubungan erat politikus dianggap mempunyai wibawa tertinggi, namun di Islam tidak berlaku karena kekuasaan yang sesungguhnya adalah di tangan Tuhan.
Benedict Anderson melihat bahwa ada perbedaan antara konsep kekuasaan jawa dan barat, tepatnya Eropah modern. Orang Eropah modern lebih melihat kekuasaan dalam bentuk :
1. Abstrak
Rumusan tentang pola-pola tertentu yang terlihat dalam interaksi sosial dan dapat diartikan kekuasaan didalam situasi situasi yang berbeda.
2. Sumber-sumber heterogen
Ada bermacam-macam sumber seperti kekayaan, status sosial dan jabatan namun tetap harus dihubungkan dengan orang lain.
3. Inheren
Pengumpulannya tidak mempunyai batas yang tak terpisahkan
4. Secara moral berwatak rangkap
Karena berasal dari konsep kekuasaan politik sekuler sebagai hubungan antar manusia yang tidak selalu sah (semacam ambivalensi) dengan sumber-sumber heterogen, akibatnya terdapat lebih banyak moral rangkap.
Karena bersifat heterogen maka banyak peluang bagi siapa saja untuk mendapatkan kekuasaan, sumber-sumber kekuasaan itu dapat diperoleh dari materi, jabatan, atau status sosial.
Hal ini berbeda dengan konsep kekuasaan menurut orang Jawa yaitu:
1. Kongkrit
Ada tidaknya tergantung pada orang yang menggunakan karena ia sebagai energi yang tidak bisa diraba, misterius dan bersifat agung yang menghidupkan alam semesta, namun dinyatakan dalam misteri kehidupan. Berproses dari generasi kegenerasi yang terjaga.
2. Homogen
Mempunyai jenis atau sumber yang sama
3. Besarnya dalam alam semesta adalah konstan
4. Tidak menimbulkan pengesahan
Karena didapatkan dari satu sumber tunggal yang homogen
Bagi penguasa jawa cara mengakumulasi kekuasaan mereka mencari legitimasi dari cara-cara tradisional seperti, tapa brata, semedi ketempat-tempat wingit. Hal ini upaya untuk memenuhi kebutuhan akan keabsahan sebagai penguasa.
Pada masyarakat Jawa kontemporer, ada kecenderungan untuk mencoba mengambil nilai-nilai publik yang bersumber dari agama. Agama yang penuh simbol dan code ritual diambil sebagai atribut tidak hanya pada kaum elite tetapi juga menengah kebawah. Namun dalam dua puluh lima terakhir abad 19, baik kedudukan ekonomi maupun pandangan hidup golongan islam yang saleh dijawa mulai berubah. Kemudahan untuk haji akibat dari pembukaan terusan Zues, melahirkan gagasan pokok gerakan tentang perlu mengusahakan kembali islammyang murni dan progresif, menolak tambahan heterodoks yang bukan islam.
Hasilnya adalah semakin meningkatnya kesadaran kolektif tetapi juga rasa pertentangan antara muslim jawa yang saleh dengan sesama jawa lainnya. Golongan ini terhalang perkembangannya karena oposisi mereka, juga karena secara ekonomi lemah.
1.3 Konstruks Pemikir Islam Tentang Kekuasaan
Diskursus agama dan politik, khususnya menyangkut pengelolaan kekuasaan (religio-political power) sebenarnya telah berkembang sejak abad tengah. Smith membagi pemikiran agama dan politik tersebut secara dikotomis kedalam tiplogi yaitu religio political power diantaranya adalah
a. Perspektif organik
Para eksponen perspektif organik mengklaim perlunya penyatuan agama dan kekuasaan karena jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.
b. Perspektif sekuler
Para eksponen perspektif sekuler cenderung mengklaim perlunya pemisahan agama dan kekuasaan antara lain dimaksudkan untuk menjaga keparipurnaan agama
c. Perspektif diferensiatik
Mereka menganut perspektif organik tapi tidak sedikit yang masih mempertimbangkan prinsip-prinsip sekularisme, meski terbatas. Demikian pula mereka yang menganut prinsip sekularisme, namun masih terbuka kemungkinan mengambil prinsip organik dalam hal tertentu.
Ada negara yang menganut pemisahan antara agama dengan negara tetapi masih juga melakukan formalisasi ajaran agama tertentu diranah publik, sehingga muncul istilah Theo-demokrasi, dalam hal ini kekuasaan harus memperoleh legitimasi dari dunia disana atau legitimasi theologis, sekaligus legitimasi dari dunia disini yaitu dari rakyat secara demokratis.
Ali Abd. Raqiz, intelektual dan aktifis politis muslim yang dikenal sebagai eksponen pemikiran pemisahan agama dan negara. Dalam membangun tesis pemisahan antara agama dan politik , dalam hal tertentu tampak dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Khaldun yang di kenal sebagai bapak Sosiologi dalam islam maupun barat modern. Kendati demikian harus dicatat bahwa Raziq jauh lebih berani melangkah dalam membangun tesis tentang kekuasaan. Menurut aktifis Hizb Al Ummah organisasi yang sesungguhnya radikal di mesir, kekuasaan harus lepas dari khalifat dengan mencari justifikasi kepada rakyat. Dalam konteks inilah Raqiz menolak tesis Khaldun yang meminta penguasa non Khilafat tetap membangun moralitas ilahiyah. Hal ini memnyebabkan barcampur aduknya ilahiyah dengan justifikasi rakyat.
Bagi Raqiz sumber legitimasi kekuasaan tidak bisa dicampur adukkan antara legitimasi rakyat (ascending of power) dengan yang datang dari Tuhan (descending of power)
Berakar dari asumsi atau pengandaian bahwa kekuasaan harus dicari sebab-sebab alamiyah, Raqiz membangun klaim hubungan agama dan politik memlalui perspektif sekularistik. Klaim tentang khilafat dan kekuasaan dalam islam ia mulai dengan mengajukan pertanyaan besar
1. Apakah kekhalifahan memang diperlukan ?
2. Apakah memang ada sistem pemerintahan islam ?
3. Dari manakah sumber legitimasi kekuasaan, dari atas (Tuhan) atau dari bawah (rakyat)?
Pertanyaan ini muncul dikala sistem kekalifahan sedang lemah saat itu, terutama di kawasan Eropa timur, yang kemudian memicu ketegangan dikalangan aktifis politik islam. Pada akhirnya berujung pada pembubaran kekahlifahan Ottoman (Ustmaniyah) pada tahun 1923/1924 oleh pemerintahan Turki dibawah kepemimpinan Kemal Atartuk. Tesis utama Raqiz dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Bahwa Nabi tidak membangun negaranya dan otoritasnya murni bersifat spiritual
2. Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahanyang definitif.
3. Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki doktrin islam.
4. Bahwa sistem ini telah menjadi sumbe tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia islam, karena ia di gunakan untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat islam.
Pikirannya yang menyimpang dari meanstream inilah yang membiatnya dipecat dari jabatannya sebagai hakim syari’ah. Pemikiran Raziq jelas merupakan kritik, di satu pihak terhadap pemikiran deferensiasionist Ibn Khaldun di satu pihak dan terutama adalah kritik kepada pemikir islam perspektif organik.
Dalam kajian islam, diskusi hubungan agama dan kekuasaan atau politik organik, memunsulkan klaim tidak ada pemisahan agama dan kekuasaan politik, sehingga kekuasaan bukan sekedar representasi, tetapi adalah presentasi dari agama. Disinilah Raziq berbeda paham dengan penganut islam formalistik seperti Sayd Qutb, Rida maupun Al Maududi.
Menurut Raziq persyaratan yang dibangun untuk menjustifikasi penyatuan agama dan politik dalam islam didasari pada tradisi skriptualistik, idealistik dan formalistik dalam memahami teks doktrinal agama.
Dapat dinyatakan disini bahwa sekularisme, sebuah perspektif pemikiran islam dan politik seperti yang disuarakan oleh Ali Abd. Alraziq memang berdampak pada pemusnahan agama. Sekularisasi dalam arti menempatkan agama terpisah dengan politik juga dapat menjaga kemungkinan tercemari olrh kepentingan-kepentingan politik.apalagi politik hampir pasti berurusan dengan kekuasaan, sementara kekuasaan cenderung korup. Jadi pemisahan agama dari politik bisa menjadi jalan keluar dari kemungkinan penodaan agama dari pembusukan politik, hal inilah yang ingin disampaikan oleh Raziq dalam perspektif sekularisasi.

1.4 Hubungan perawat dengan politik
Perawatan memerlukan Politik di dasari oleh trens dan isu yaitu karena profesi keperawatan adalah profesi yang dinamis, Terns holistic keperawata, minimnya keterlibatan perawat dan menentukan keputusan
Arti politik bagi perawat
a.Proses
Politik menciptakan iklim yang kondusif bagi keperawatan terutama mendapatkan
legitimasi masyarakat dalam upaya mendukung usaha- usaha memberikan asuhan
keperwatan.
b.Tujuan
Memberikan pencapaian tujuan keperawatan dalam melakukan intervensi kepada
masayarakat melalui serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh Profesi
keperawatan berupa kebijakan strategis dalam memberikan asuhan keperawatan.
• Kepmenkes No. 1239 Registrasi dan Praktik Keperwatan
• Permenkes No. 1419/Menkes/Per./X/2005 Ttg Praktik dokter Dokter gigi
Dalam wikipedia Indonesia disebutkan bahwa seseorang dapat mengikuti dan
berhak menjadi insan politik dengan mengikuti suatu partai politik atau parpol,
mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau LSM (lembaga swadaya
masyarakat). Maka dari hal tersebut seseorang berkewajiban untuk melakukan hak
dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang
telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku.
Dari hal tersebut, perawat yang merupakan bagian dari insan perpolitikan di Indonesia juga berhak dan berkewajiban ikut serta dan mengambil sebuah
kekuasaan demi terwujudnya regulasi profesi keperawatan yang nyata. Dari hal
tersebut juga terlihat bahwa perawat dapat memperjuangkan banyak hal terkait
dengan umat maupun nasib perawat itu sendiri.
Pentingnya dunia politik bagi profesi keperawatan
Dunia politik bukan dunia yang asing, namun terjun dan berjuang bersamanya
mungkin akan terasa asing bagi profesi keperawatan. Hal ini di tunjukkan belom
adanya keterwakilan seorang perawat dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Tidak di pungkiri lagi bahwa seorang perawat juga rakyat Indonesia yang juga
memiliki hak pilih dan tentunya telah melakukan haknya untuk memilih wakil-
wakilnya sebagai anggota legislative namun seakan tidak ada satupun suara yang
menyuarakan hati nurani profesi keperawatan. Akankah hal ini di biarkan begitu
saja? Tentunya tidak, karena profesi kita pun mebutuhkan penyampaian aspirasi
yang patut untuk di dengar dan di selesaikannya permasalahan yang ada, yang
tentunya akan membawa kesejahteraan rakyat seluruh profesi keperawatan.
Sulitnya menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keperawatan seringkali
dikaitkan dengan tidak adanya keterwakilan seorang perawat di badan legislative
sana.
a. Regulasi pendidikan
Banyak sekali keuntungan yang akan didapatkan ketika regulasi (undang-undang)
keperawatan telah di tetapkan, salah satunya adalah mengenai regulasi pendidikan
keperawatan di Indonesia. Walaupun regulasi pendidikan seharusnya wewenang
Dinas Pendidikan Tinggi, namun saat ini profesi keperawatan mengalami
dualisme arah, kiblat pendidikan keperawatan yang ganda ini menjadikan profesi
keperawatan semakin ruwet dan kemungkinan akan menyulitkan dalam birokasi-
birokrasi pengurusannya.
Sesuai keputusan dinyatakan bahwa pendidikan hanya dapat di
laksanakan atau berada di bawah Dinas Pendidikan Tinggi (DIKTI) namun
kenyataan yang ada adalah pendidikan keperawatan masih ada yang berada di
bawah selain DIKTI dan istitusi lainnya ada yang berada di bawah Dinas
Kesehatan (Dinkes).
Kenapa hal tersebut masih terjadi? Dan mengapa hal semacam ini masih di
pertahankan sampai sekarang yang kemudian akan menjadikan banyaknya
kesenjangan, kurikulum yang tidak merata dan kesulitan dalam quality control
kurikulum yang ada, dan masih banyak lagi permasalah yang lain.
Menjadi bagian dari dunia perpolitikan di Indonesia, di harapkan seorang perawat
mampu mewakili banyaknya aspirasi dan menyelesaikan permasalahan yang ada
di profesi keperawatan salah satunya seperti yang di sebutkan diatas yaitu
mengenai begaimana meregulasi pendidikan keperawatan yang hasil akhirnya di
harapkan tercapainya kualitas perawat bias di pertanggung jawabkan.
Regulasi pendidikan akan menjadikan tidak bermunculnya institusi pendidikan keperawatan yang hanya mencari untung, politik uang, dan institusi yang tidak
melakukan penjaminan mutu akan output perawat yang di luluskan setiap
periodenya.
Dengan regulasi pendidikan keperawatan, semua menjadi terstandardisasi, profesi keperawatan yang mempunyai nilai tawar, nilai jual dan menjadi profesi yang di pertimbangkan.
b. Regulasi kewenangan perawat di lahan klinik
Tidak kalah pentingnya dengan regulasi pendidikan, dimana regulasi pendidikan
merupakan bagaimana kita melakukan persiapan yang matang sebelum membuat
dan memulai (perencanaan), dimana kita melakukan pembangunan fondasi yang
kokoh dan system yang mensupport akan terbentuknya generasi perawat-perawat
yang siap tempur. Regulasi kewenangan perawat di lahan klinik akan menjadikan
profesi keperawatan semakin mantap dalam langkahnya. Kewenangan perawat
yang mandiri, terstruktur dan ranah yang jelas akan menjadikan perawat semakin
professional dan proporsional sesuai dengan tanggung jawab yang harus di
penuhi, selain itu dalam regulasi kewenangan ini di harapkan tidak terjadi adanya
overlap dan salah satu yang paling penting adalah menghindari terjadi malpraktek
yang kemungkinan dapat terjadi.
c. Cara terjun ke dunia politik
Banyak hal yang dapat di lakukan oleh seorang perawat sehingga mampu terjun
ke dunia politik. Salah satu yang paling umum dilakukan adalah mendukung salah
satu partai politik. Partai politik ini akan menjadi motor penggerak pembawa di
kancah perpolitikan Indonesia.
Banyak partai yang menawarkan posisi legislative, ada partai yang melakukan
pengkaderan dari awal yang mampu menyiapkan calon-calon legislative dari
embrio yang akan di berikan suntikan idiologi dari pertain tersebut, ada juga partai
yang memberikan kesempatan kepada siapa saja yang siap untuk berjuang bersama-sama mendukung partainya dan menjadi calon legislative.
d. Etika Politik dalam Merawat Pasien
Etika adalah mengenai pengawasan bagi orang lain, kepedulian terhadap perasaan, banyak sumber praktis. “Merawat seseorang berarti bertindak untuk kebaikan mereka, membantu mengembalikan otonomi mereka, membantu mereka untuk mencapai potensi penuh mereka. Mencapai tujuan hidup mereka dan pemenuhan kebutuhan”.
Dalam pengalaman menderita mungkin tidak hanya membuat kita lebih simpati, tapi mungkin juga membantu kita untuk lebih empati terhadap pasien kita. Simpati adalah perasaan yang timbul secara spontan yang kita miliki atau tidak dimiliki. Empati adalah kemampuan untuk meletakkan diri kita dalam sesuatu orang lain, dalam suatu seni yang dapat dipelajari, latihan imajinasi yang dapat dilatih. Perasaan ini dapat menjadi motivator yang kuat, yang juga dapat diperoleh dalam melakukan tanggung jawab professional kita. Jika kita memilih menjadi perawat untuk memenuhi kebutuhan pribadi, atau hanya sebagai aututerapi tanpa disadari, untuk menghadapimasalah dan kecemasan sendiri, pasien akan menderita karena pekerjaan kita yang akan menjadi catatan bagi mereka. (Eadie 1975, Shimpson et all 1983). Merawat bisa menjadi merusak orang lain jika kita tidak mengerti dinamika aslinya, yaitu seperti dorongan psikologis yang kompleks yang muncul dalam operasi ketika kita dalam posisi tangguh sebagai penolong terhadap pasien yang relative tidak mandiri dan lemah. Inilah, mengapa psikiater dalam pelatihan dan perawat psikiatri didukung untuk mengalami psikoanalisis pribadi atau terlibat dalam terapi kelompok, sebagai proses untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam dan sering tersembunyi dengan maksud lain. Ketika pengawasan dan perhatian dari perawat yang baik dapat melakukan kekuasaannya dengan baik, over protektif, menguasai atau mengganggu dan pengawasan seperti pada bayi, seperti pengasuhan yang jelek, juga bias menjadi sangat merusak, ini dapat dikatakan bahwa “kebaikan terbesar kita juga merupakan sumber potensial kelemahan dan kejahatan kita”. Beberapa praktik dan sikap perawat dapat membawa mereka kepada konfliklangsung dengan tim kesehatan yang terkait dalam merehabilitasi kesehatan pasien,dengan fisioterapis dan ahli terapi yang menjabat. Konflik disini bukan hanya dalam persaingan profesionalitas atau ketidak jelasan batasan kerja, tapi juga perbedaan dalam interpretasi tentang perawatan dandalam praktik perawatan.
Dari suatu pandangan yang lazim, perawat juga merupakan pegawai yang melakukan pekerjaan tertentu seefisien dan seefektif mungkin. Hasilnya, pembatasan-pembatasan layak di pertimbangkandan batasan praktik dapat dilakukan pada waktu yang tersedia untuk hubungan perawatan dan dan perhatian terhadap kebutuhan tertentu pasien. Pengalaman perawat menghadapi kenyataan hubungan kekuasaan dalam bekerja dengan pasien dan dokter,berarti bahwa mereka mengetahui bahwa etika harus dilakukan dengan kekuasaan dan pembagian kekuasaan dalam hubungan langsung antar pribadi. Bagaimanapun, tantangan adalah untuk memahami sifat alami hubungan kekuasaan dan etika pembagian kekuasaan, dalam mengajar, dalam management, dalam pendidikan kesehatan dan riset, dalam mempengaruhi sumber daya, dan dalam politik kesehatan local dan nasional.
Perawat tidak hanya belajar merawat pasien, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan pasien secara umum. Ini berarti memperhatikan standard dan management pelayanan, kemampuan staff, efisiensi dan efektifitas prosedur yang digunakan, peningkatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, dan kesehatan masyarakat. Jika kepedulian terhadap kesehatan dipahami dari arti perspektif luas, perawat cepat mengetahui bahwa politik dan etika perawatan berlanjut satu sama lain, pembagian dan kepedulian, menghormati orang dan keadilan, kaitan kekuasaan dan nilai-nilai adalah saling berhubungan, dan memaksakan tanggung jawab politis pada mereka. Pada akhirnya perjuangan menjadi lebih baik dan kondisi yang lebih patut untuk pasien dan perawat serta petugas kesehatan lain yang tidak dapat dipisahkan. Bukan tidak mungkin menggabungkan kualitas personal yang sensitive dan peduli dengan yang kompeten dan efisiensi dalam management, atau empati kepada orang lain dengan orang yang keras dalam susunan staff, atau perundingan bersama